Sabtu, 04 Oktober 2014

Analisa Artikel Online

Berikut ini adalah sebuah artikel mengenai dampak sosial media terhadap tubuh kita yang saya ambil dari sebuah website forum online terbesar se-Indonesia yaitu KASKUS yang akan saya gunakan sebagai bahan pembelajaran dari matakuliah Bahasa Indonesia mengenai EYD. Berikut adalah pembahasannya :

Artikel sebelum diperbaiki ejaannya.
Tahukah kamu, bahwa 1/3 warga bumi ini udah 'hidup' di sosial media. Iya, itu termasuk kita. Udah jelas, bahwa sosial media suaaangat mempengaruhi cara kita berkomunikasi dan bermasyarakat. Eits, nggak usah jauh-jauh dulu deh sampe ngomongin pengaruhnya ke masyarakatnya. Soalnya, ke tubuh kita sendiri aja sosial media udah membawa dampak yang signifikan.
Sebelum sosial media menginvansi otak kita sampai ke akar-akarnya, lebih baik kita pelajari dulu nih dampaknya media sosial pada otak kita:
Otak Kita Bisa Dibuat Ketagihan
             lagi buka browser yang pertama dibuka Facebook
             lagi ngerjain tugas, dikit-dikit buka Facebook
             lagi naik ojek, buka Twitter
             lagi ijab kabul, bilang 'saaah'nya di status Path
             lagi buka facebook, Path, Twitter, dkk. Nggak bisa lepas
Udah lah, ngaku aja, kita-kita ini emang udah ketagihan banget sama yang namanya sosial media. Penelitian saja membuktikan kalau 5-10 persen pengguna internet di dunia ini merasa kesulitan lepas dari media sosial. Mencet tombol Log Out tuh udah kayak mencet tombol 'danger'. Sekali-kalinya log out juga ya untuk pindah akun.
Internet addiction disorder (IAD) salah satunya disebabkan karena kita bisa sangat mudah ngedapetin reward—berupa Likes (penghargaan), atensi, serta komentar—dengan usaha yang gampil. Adiksi berinternet ini mirip kayak adiksi yang ditimbulkan narkoba yang bisa mengontrol proses emosi, jangkauan perhatian serta pengambilan keputusan.
Konsentrasi (sangat) mudah Terpecah Akibat Kebiasaan Multitasking
             Sambil ngeliat Facebook di PC, kita ngescroll feed Instagram di ponsel
             Sambil peluk pacar, sambil ngatur tongsis untuk selfie
             sambil nyetir motor kopling, kita bikin kultwit soal safety riding
             sambil nonton tv, kita cek email di tablet.
Terlalu banyaknya ragam gadget, aplikasi serta media sosial membuat kita ingin menggunakannya semua dalam satu waktu. Apalagi semuanya menawarkan kecanggihan dan kesenangan. Dari gadget satu pindah ke gadget lain, dari akun media sosial yang satu ke media sosial yang lain. Kita seolah tak punya kendali untuk konsentrasi pada satu perangkat saja.
Kebiasaan multitasking ini membuat pelaku sangat rentan terhadap intervensi atau distraksi. Pelaku mudah terganggu, konsentrasi mudah pecah, dan kesulitan menyerap informasi. Sebaliknya, pengguna media yang tidak bermultitasking, justru cenderung mudah berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Dan mereka cenderung lebih bahagia ketika bermedia sosial.

Otak Jadi Terlalu Peka Sama Notifikasi
             ada bunyi "tik tok", langsung ngecek hape. Padahal itu bunyi bel rumah
             ada geter-geter, langsung ngecek hape. padahal itu gempa bumi
             ada yang nyolek-nyolek kantong, langsung ngecek hape. padahal itu copet.
Begitulah! Media sosial yang selalu memberikan notifikasi tiap kali ada update ternyata berdampak negatif pada sistem syaraf kita. Karena terbiasa melihat ponsel tiap kali tanda notifikasi masuk, kita jadi kerap mengira tanda apa pun (bunyi, getaran, dll) yang mengena ke indera, kita kira sebagai notifikasi dari media sosial yang harus segera kita tanggapi. Gejala inilah yang disebut sebagai phantom vibration syndrome. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Michelee Drouin, 89% dari 290 sampel penelitiannya pernah mengalami sindrom ini.
Bikin Hati Senang
Menurut data dari TollFreeForwarding, twitteran 10 menit bisa memicu keluarnya hormon oksitosin sebanyak 13%. Hormon oksitosin ini dikenal sebagai hormon yang bikin kita hepi.
Udah gitu, penelitian lain juga bilang kalau bersosmed-ria emang bikin kita senang dan puas karena bersosmed itu 80% melibatkan diri kita untuk berinteraksi dengan orang banyak. Hal ini menyebabkan kita gemar mengekspresikan diri dan terobsesi pada diri kita sendiri. Gejala tersebut merangsang tubuh untuk mengeluarkan hormone dopamine, sebuah hormon yang keluar kita saat merasa senang, puas dan orgasme.
Begitulah bro, sis. Gimana nih? gawat juga sih yah. Ada kah satu atau lebih dari dampak di atas yang udah kalian rasakan? Mengetahui dampak-dampak sosial media tersebut, maka penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara interaksi di dunia maya dan interaksi dunia nyata. Selain itu, kendali diri juga sangat diperlukan agar kita tidak begitu saja hanyut di belantara dunia maya ini.
Analisa Artikel
Dari artikel diatas, menurut analisis saya kata yang diberi tanda masih belum menggunakan kata yang baku. Selanjutnya saya akan mencoba memperbaiki ejaan yang menurut saya salah dari artikel diatas.
1.       Tahukah kamu, bahwa 1/3 warga bumi ini udah 'hidup' di sosial media. Iya, itu termasuk kita. Udah jelas, bahwa sosial media suaaangat mempengaruhi cara kita berkomunikasi dan bermasyarakat. Eits, nggak usah jauh-jauh dulu deh sampe ngomongin pengaruhnya ke masyarakatnya. Soalnya, ke tubuh kita sendiri aja sosial media udah membawa dampak yang signifikan.

Ini adalah beberapa kalimat yang berada di paragraf pertama di artikel tersebut terdapat kesalahan dalam pemilihan kata yang tidak sesuai dengan EYD dan seharusnya adalah sebagai berikut :

§  Kata “udah” seharusnya menjadi “sudah”
§  Kata “suaaangat” seharusnya menjadi “sangat”
§  Tidak perlu menggunakan kata “eits”
§  Kata “nggak” seharusnya menjadi “tidak”
§  Kata “sampe ngomongin” seharusnya menjadi “sampai membicarakan”
§  Kata “Soalnya” seharusnya menjadi “karena/sebab”

2.       Otak Kita Bisa Dibuat Ketagihan
             lagi buka browser yang pertama dibuka Facebook
             lagi ngerjain tugas, dikit-dikit buka Facebook
             lagi naik ojek, buka Twitter
             lagi ijab kabul, bilang 'saaah'nya di status Path
             lagi buka facebook, Path, Twitter, dkk. Nggak bisa lepas

Selanjutnya ada kesalahan pemilihan kata di paragraf ke tiga yang terdapat beberapa poin penjelasan. Disana terdapat penggunaan kata “lagi” yang seharusnya digunakan adalah kata “sedang”.

3.       Otak Jadi Terlalu Peka Sama Notifikasi
             ada bunyi "tik tok", langsung ngecek hape. Padahal itu bunyi bel rumah
             ada geter-geter, langsung ngecek hape. padahal itu gempa bumi
             ada yang nyolek-nyolek kantong, langsung ngecek hape. padahal itu copet.

Di paragraf ke enam dari artikel diatas terdapat beberapa kesalahan dalam penggunaan kata dan penyusunan kalimat.

4.           Menurut data dari TollFreeForwarding, twitteran 10 menit bisa memicu keluarnya hormon oksitosin sebanyak 13%. Hormon oksitosin ini dikenal sebagai hormon yang bikin kita hepi.
Udah gitu, penelitian lain juga bilang kalau bersosmed-ria emang bikin kita senang dan puas karena bersosmed itu 80% melibatkan diri kita untuk berinteraksi dengan orang banyak. Hal ini menyebabkan kita gemar mengekspresikan diri dan terobsesi pada diri kita sendiri. Gejala tersebut merangsang tubuh untuk mengeluarkan hormone dopamine, sebuah hormon yang keluar kita saat merasa senang, puas dan orgasme.
Begitulah bro, sis. Gimana nih? gawat juga sih yah. Ada kah satu atau lebih dari dampak di atas yang udah kalian rasakan?

Di tiga paragraf terakhir juga terdapat beberapa kesalahan penggunaan kata yang hampir sama dengan kesalahan di paragraf-paragraf sebelumnya.


Artikel setelah dilakukan perubahan

Tahukah kamu, bahwa 1/3 warga bumi ini sudah  'hidup' di sosial media. Iya, itu termasuk kita. Sudah jelas, bahwa sosial media sangat mempengaruhi cara kita berkomunikasi dan bermasyarakat. Tidak perlu jauh-jauh dahulu sampai membicarakan pengaruhnya ke masyarakatnya. Sebab, ke tubuh kita sendiri aja sosial media udah membawa dampak yang signifikan.
Sebelum sosial media menginvansi otak kita sampai ke akar-akarnya, lebih baik kita pelajari dulu dampaknya media sosial pada otak kita:
Otak Kita Bisa Dibuat Ketagihan
             Sedang buka browser yang pertama dibuka Facebook
             Sedang mengerjakan tugas,  buka Facebook
             Sedang naik ojek, buka Twitter
             Sedang ijab kabul, bilang 'saaah'nya di status Path
             Sedang buka facebook, Path, Twitter, dkk. Tidak bisa lepas
Sudahlah, mengaku saja, kita-kita ini memang sudah ketagihan sekali dengan yang namanya sosial media. Penelitian saja membuktikan kalau 5-10 persen pengguna internet di dunia ini merasa kesulitan lepas dari media sosial. Menekan tombol Log Out itu sudah seperti menekan tombol 'danger'. Sekali-kalinya log out juga ya untuk pindah akun.
Internet addiction disorder (IAD) salah satunya disebabkan karena kita bisa sangat mudah mendapatkan reward—berupa Likes (penghargaan), atensi, serta komentar—dengan usaha yang mudah. Adiksi berinternet ini mirip kayak adiksi yang ditimbulkan narkoba yang bisa mengontrol proses emosi, jangkauan perhatian serta pengambilan keputusan.
Konsentrasi (sangat) mudah Terpecah Akibat Kebiasaan Multitasking
             Sambil melihat Facebook di PC, kita mengguungl feed Instagram di ponsel
             Sambil memeluk pacar, sambil mengatur tongsis untuk selfie
             Sambil mengendarai motor kopling, kita bikin kultwit soal safety riding
             Sambil nonton tv, kita cek email di tablet.
Terlalu banyaknya ragam gadget, aplikasi serta media sosial membuat kita ingin menggunakannya semua dalam satu waktu. Apalagi semuanya menawarkan kecanggihan dan kesenangan. Dari gadget satu pindah ke gadget lain, dari akun media sosial yang satu ke media sosial yang lain. Kita seolah tak punya kendali untuk konsentrasi pada satu perangkat saja.
Kebiasaan multitasking ini membuat pelaku sangat rentan terhadap intervensi atau distraksi. Pelaku mudah terganggu, konsentrasi mudah pecah, dan kesulitan menyerap informasi. Sebaliknya, pengguna media yang tidak bermultitasking, justru cenderung mudah berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Dan mereka cenderung lebih bahagia ketika bermedia sosial.

Otak Jadi Terlalu Peka Sama Notifikasi
             ada bunyi "tik tok", langsung memeriksa ponsel. Ternyata itu bunyi bel rumah
             ada getaran, langsung memeriksa ponsel . Ternyata itu gempa bumi
             ada yang mencolek kantong, langsung memeriksa ponsel. Ternyata itu copet.
Begitulah! Media sosial yang selalu memberikan notifikasi tiap kali ada update ternyata berdampak negatif pada sistem syaraf kita. Karena terbiasa melihat ponsel tiap kali tanda notifikasi masuk, kita jadi kerap mengira tanda apa pun (bunyi, getaran, dll) yang mengena ke indera, kita kira sebagai notifikasi dari media sosial yang harus segera kita tanggapi. Gejala inilah yang disebut sebagai phantom vibration syndrome. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Michelee Drouin, 89% dari 290 sampel penelitiannya pernah mengalami sindrom ini.
Bikin Hati Senang
Menurut data dari TollFreeForwarding, twitteran 10 menit bisa memicu keluarnya hormon oksitosin sebanyak 13%. Hormon oksitosin ini dikenal sebagai hormon yang membuat kita senang.
Selain itu, penelitian lain juga mengatakan kalau bersosmed-ria memang dapat membuat kita senang dan puas karena bersosmed itu 80% melibatkan diri kita untuk berinteraksi dengan orang banyak. Hal ini menyebabkan kita gemar mengekspresikan diri dan terobsesi pada diri kita sendiri. Gejala tersebut merangsang tubuh untuk mengeluarkan hormone dopamine, sebuah hormon yang keluar kita saat merasa senang, puas dan orgasme.
Seperti itu saudara, saudari. Bagaiman? Sepertinya gawat. Ada kah satu atau lebih dari dampak di atas yang sudah kalian rasakan? Mengetahui dampak-dampak sosial media tersebut, maka penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara interaksi di dunia maya dan interaksi dunia nyata. Selain itu, kendali diri juga sangat diperlukan agar kita tidak begitu saja hanyut di belantara dunia maya ini.

Sumber artikel : http://m.kaskus.co.id/thread/542d974b1a9975a6318b456a

0 komentar:

Posting Komentar