Berikut ini adalah sebuah artikel
mengenai dampak sosial media terhadap tubuh kita yang saya ambil dari sebuah
website forum online terbesar se-Indonesia yaitu KASKUS yang akan saya gunakan
sebagai bahan pembelajaran dari matakuliah Bahasa Indonesia mengenai EYD.
Berikut adalah pembahasannya :
Artikel sebelum diperbaiki ejaannya.
Tahukah kamu, bahwa 1/3 warga bumi ini udah 'hidup' di sosial
media. Iya, itu termasuk kita. Udah jelas, bahwa sosial media suaaangat mempengaruhi cara kita
berkomunikasi dan bermasyarakat. Eits, nggak usah jauh-jauh dulu deh sampe ngomongin pengaruhnya
ke masyarakatnya. Soalnya,
ke tubuh kita sendiri aja sosial media udah membawa dampak yang signifikan.
Sebelum sosial media menginvansi otak kita sampai ke
akar-akarnya, lebih baik kita pelajari dulu nih dampaknya media sosial pada
otak kita:
Otak Kita Bisa Dibuat Ketagihan
• lagi buka browser yang
pertama dibuka Facebook
• lagi ngerjain tugas,
dikit-dikit buka Facebook
• lagi naik ojek, buka
Twitter
• lagi ijab kabul, bilang
'saaah'nya di status Path
• lagi buka facebook, Path,
Twitter, dkk. Nggak bisa lepas
Udah
lah, ngaku aja, kita-kita ini emang udah ketagihan banget sama yang
namanya sosial media. Penelitian saja membuktikan kalau 5-10 persen pengguna
internet di dunia ini merasa kesulitan lepas dari media sosial. Mencet tombol Log Out tuh udah
kayak mencet tombol 'danger'. Sekali-kalinya log out juga ya untuk
pindah akun.
Internet addiction disorder (IAD) salah satunya disebabkan
karena kita bisa sangat mudah ngedapetin reward—berupa Likes (penghargaan), atensi, serta
komentar—dengan usaha yang gampil.
Adiksi berinternet ini mirip kayak adiksi yang ditimbulkan narkoba yang bisa
mengontrol proses emosi, jangkauan perhatian serta pengambilan keputusan.
Konsentrasi (sangat)
mudah Terpecah Akibat Kebiasaan Multitasking
• Sambil ngeliat Facebook di PC,
kita ngescroll feed Instagram di ponsel
• Sambil peluk pacar, sambil ngatur
tongsis untuk selfie
• sambil nyetir motor kopling, kita
bikin kultwit soal safety riding
• sambil nonton tv, kita cek email di
tablet.
Terlalu banyaknya ragam gadget, aplikasi serta media sosial
membuat kita ingin menggunakannya semua dalam satu waktu. Apalagi semuanya
menawarkan kecanggihan dan kesenangan. Dari gadget satu pindah ke gadget lain,
dari akun media sosial yang satu ke media sosial yang lain. Kita seolah tak
punya kendali untuk konsentrasi pada satu perangkat saja.
Kebiasaan multitasking ini membuat pelaku sangat rentan
terhadap intervensi atau distraksi. Pelaku mudah terganggu, konsentrasi mudah
pecah, dan kesulitan menyerap informasi. Sebaliknya, pengguna media yang tidak
bermultitasking, justru cenderung mudah berpindah dari satu pekerjaan ke
pekerjaan lain. Dan mereka cenderung lebih bahagia ketika bermedia sosial.
Otak Jadi Terlalu
Peka Sama Notifikasi
• ada bunyi "tik tok",
langsung ngecek hape. Padahal itu bunyi bel rumah
• ada geter-geter, langsung ngecek
hape. padahal itu gempa bumi
• ada yang nyolek-nyolek kantong,
langsung ngecek hape. padahal itu copet.
Begitulah! Media sosial yang selalu memberikan notifikasi
tiap kali ada update ternyata berdampak negatif pada sistem syaraf kita. Karena
terbiasa melihat ponsel tiap kali tanda notifikasi masuk, kita jadi kerap
mengira tanda apa pun (bunyi, getaran, dll) yang mengena ke indera, kita kira
sebagai notifikasi dari media sosial yang harus segera kita tanggapi. Gejala
inilah yang disebut sebagai phantom vibration syndrome. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Michelee Drouin, 89% dari 290 sampel penelitiannya pernah
mengalami sindrom ini.
Bikin Hati Senang
Menurut data dari TollFreeForwarding, twitteran 10 menit
bisa memicu keluarnya hormon oksitosin sebanyak 13%. Hormon oksitosin ini
dikenal sebagai hormon yang bikin
kita hepi.
Udah
gitu, penelitian lain juga bilang kalau bersosmed-ria emang bikin kita senang dan puas
karena bersosmed itu 80% melibatkan diri kita untuk berinteraksi dengan orang
banyak. Hal ini menyebabkan kita gemar mengekspresikan diri dan terobsesi pada
diri kita sendiri. Gejala tersebut merangsang tubuh untuk mengeluarkan hormone
dopamine, sebuah hormon yang keluar kita saat merasa senang, puas dan orgasme.
Begitulah
bro, sis. Gimana nih? gawat juga sih yah. Ada kah satu atau lebih dari
dampak di atas yang udah
kalian rasakan? Mengetahui dampak-dampak sosial media tersebut, maka penting
bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara interaksi di dunia maya dan
interaksi dunia nyata. Selain itu, kendali diri juga sangat diperlukan agar
kita tidak begitu saja hanyut di belantara dunia maya ini.
Analisa Artikel
Dari artikel diatas, menurut analisis saya kata yang diberi
tanda masih belum menggunakan kata yang baku. Selanjutnya saya akan mencoba
memperbaiki ejaan yang menurut saya salah dari artikel diatas.
1.
Tahukah kamu, bahwa 1/3 warga bumi ini udah 'hidup' di sosial
media. Iya, itu termasuk kita. Udah jelas, bahwa sosial media suaaangat mempengaruhi cara kita
berkomunikasi dan bermasyarakat. Eits, nggak usah jauh-jauh dulu deh sampe ngomongin pengaruhnya
ke masyarakatnya. Soalnya,
ke tubuh kita sendiri aja sosial media udah membawa dampak yang signifikan.
Ini adalah beberapa kalimat yang berada di
paragraf pertama di artikel tersebut terdapat kesalahan dalam pemilihan kata
yang tidak sesuai dengan EYD dan seharusnya adalah sebagai berikut :
§
Kata “udah” seharusnya menjadi “sudah”
§
Kata “suaaangat” seharusnya menjadi “sangat”
§
Tidak perlu menggunakan kata “eits”
§
Kata “nggak” seharusnya menjadi “tidak”
§
Kata “sampe ngomongin” seharusnya menjadi
“sampai membicarakan”
§
Kata “Soalnya” seharusnya menjadi “karena/sebab”
2.
Otak Kita Bisa Dibuat Ketagihan
• lagi buka browser yang
pertama dibuka Facebook
• lagi ngerjain tugas,
dikit-dikit buka Facebook
• lagi naik ojek, buka
Twitter
• lagi ijab kabul, bilang
'saaah'nya di status Path
• lagi buka facebook, Path,
Twitter, dkk. Nggak bisa lepas
Selanjutnya ada kesalahan pemilihan kata di
paragraf ke tiga yang terdapat beberapa poin penjelasan. Disana terdapat
penggunaan kata “lagi” yang seharusnya digunakan adalah kata “sedang”.
3.
Otak Jadi Terlalu Peka Sama Notifikasi
• ada bunyi "tik tok",
langsung ngecek hape. Padahal itu bunyi bel rumah
• ada geter-geter,
langsung ngecek hape. padahal itu gempa bumi
• ada yang
nyolek-nyolek kantong, langsung ngecek hape. padahal itu copet.
Di paragraf ke enam dari artikel diatas
terdapat beberapa kesalahan dalam penggunaan kata dan penyusunan kalimat.
4.
Menurut data dari TollFreeForwarding, twitteran
10 menit bisa memicu keluarnya hormon oksitosin sebanyak 13%. Hormon oksitosin
ini dikenal sebagai hormon yang bikin kita hepi.
Udah gitu, penelitian
lain juga bilang kalau
bersosmed-ria emang bikin kita senang dan puas karena bersosmed itu 80%
melibatkan diri kita untuk berinteraksi dengan orang banyak. Hal ini
menyebabkan kita gemar mengekspresikan diri dan terobsesi pada diri kita
sendiri. Gejala tersebut merangsang tubuh untuk mengeluarkan hormone dopamine,
sebuah hormon yang keluar kita saat merasa senang, puas dan orgasme.
Begitulah bro, sis. Gimana nih?
gawat juga sih yah. Ada kah satu atau lebih dari dampak di atas yang udah kalian rasakan?
Di tiga paragraf
terakhir juga terdapat beberapa kesalahan penggunaan kata yang hampir sama
dengan kesalahan di paragraf-paragraf sebelumnya.
Artikel setelah dilakukan perubahan
Tahukah kamu, bahwa 1/3 warga
bumi ini sudah 'hidup' di sosial media.
Iya, itu termasuk kita. Sudah jelas, bahwa sosial media sangat mempengaruhi
cara kita berkomunikasi dan bermasyarakat. Tidak perlu jauh-jauh dahulu sampai
membicarakan pengaruhnya ke masyarakatnya. Sebab, ke tubuh kita sendiri aja
sosial media udah membawa dampak yang signifikan.
Sebelum sosial media menginvansi
otak kita sampai ke akar-akarnya, lebih baik kita pelajari dulu dampaknya media
sosial pada otak kita:
Otak Kita Bisa Dibuat Ketagihan
• Sedang
buka browser yang pertama dibuka Facebook
• Sedang
mengerjakan tugas, buka Facebook
• Sedang
naik ojek, buka Twitter
• Sedang
ijab kabul, bilang 'saaah'nya di status Path
• Sedang
buka facebook, Path, Twitter, dkk. Tidak bisa lepas
Sudahlah, mengaku saja, kita-kita
ini memang sudah ketagihan sekali dengan yang namanya sosial media. Penelitian
saja membuktikan kalau 5-10 persen pengguna internet di dunia ini merasa
kesulitan lepas dari media sosial. Menekan tombol Log Out itu sudah seperti
menekan tombol 'danger'. Sekali-kalinya log out juga ya untuk pindah akun.
Internet addiction disorder (IAD)
salah satunya disebabkan karena kita bisa sangat mudah mendapatkan
reward—berupa Likes (penghargaan), atensi, serta komentar—dengan usaha yang mudah.
Adiksi berinternet ini mirip kayak adiksi yang ditimbulkan narkoba yang bisa
mengontrol proses emosi, jangkauan perhatian serta pengambilan keputusan.
Konsentrasi (sangat) mudah Terpecah Akibat Kebiasaan Multitasking
• Sambil
melihat Facebook di PC, kita mengguungl feed Instagram di ponsel
• Sambil
memeluk pacar, sambil mengatur tongsis untuk selfie
• Sambil
mengendarai motor kopling, kita bikin kultwit soal safety riding
• Sambil
nonton tv, kita cek email di tablet.
Terlalu banyaknya ragam gadget,
aplikasi serta media sosial membuat kita ingin menggunakannya semua dalam satu
waktu. Apalagi semuanya menawarkan kecanggihan dan kesenangan. Dari gadget satu
pindah ke gadget lain, dari akun media sosial yang satu ke media sosial yang
lain. Kita seolah tak punya kendali untuk konsentrasi pada satu perangkat saja.
Kebiasaan multitasking ini
membuat pelaku sangat rentan terhadap intervensi atau distraksi. Pelaku mudah
terganggu, konsentrasi mudah pecah, dan kesulitan menyerap informasi.
Sebaliknya, pengguna media yang tidak bermultitasking, justru cenderung mudah
berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Dan mereka cenderung lebih
bahagia ketika bermedia sosial.
Otak Jadi Terlalu Peka Sama Notifikasi
• ada
bunyi "tik tok", langsung memeriksa ponsel. Ternyata itu bunyi bel
rumah
• ada
getaran, langsung memeriksa ponsel . Ternyata itu gempa bumi
• ada
yang mencolek kantong, langsung memeriksa ponsel. Ternyata itu copet.
Begitulah! Media sosial yang
selalu memberikan notifikasi tiap kali ada update ternyata berdampak negatif
pada sistem syaraf kita. Karena terbiasa melihat ponsel tiap kali tanda
notifikasi masuk, kita jadi kerap mengira tanda apa pun (bunyi, getaran, dll)
yang mengena ke indera, kita kira sebagai notifikasi dari media sosial yang
harus segera kita tanggapi. Gejala inilah yang disebut sebagai phantom
vibration syndrome. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Michelee Drouin, 89%
dari 290 sampel penelitiannya pernah mengalami sindrom ini.
Bikin Hati Senang
Menurut data dari
TollFreeForwarding, twitteran 10 menit bisa memicu keluarnya hormon oksitosin
sebanyak 13%. Hormon oksitosin ini dikenal sebagai hormon yang membuat kita
senang.
Selain itu, penelitian lain juga mengatakan
kalau bersosmed-ria memang dapat membuat kita senang dan puas karena bersosmed
itu 80% melibatkan diri kita untuk berinteraksi dengan orang banyak. Hal ini
menyebabkan kita gemar mengekspresikan diri dan terobsesi pada diri kita
sendiri. Gejala tersebut merangsang tubuh untuk mengeluarkan hormone dopamine,
sebuah hormon yang keluar kita saat merasa senang, puas dan orgasme.
Seperti itu saudara, saudari.
Bagaiman? Sepertinya gawat. Ada kah satu atau lebih dari dampak di atas yang sudah
kalian rasakan? Mengetahui dampak-dampak sosial media tersebut, maka penting
bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara interaksi di dunia maya dan
interaksi dunia nyata. Selain itu, kendali diri juga sangat diperlukan agar
kita tidak begitu saja hanyut di belantara dunia maya ini.
Sumber artikel :
http://m.kaskus.co.id/thread/542d974b1a9975a6318b456a